Rabu, 02 Maret 2011

elektrolisis asam sulfat dengan elektroda tembaga menghasilkan tembaga(II) sulfat.

Selasa, 15 Februari 2011

bioetanol kering


A. JUDUL PROGRAM
PENGARUH ELEKTROLISIS TERHADAP PENINGKATAN KADAR LARUTAN BIOETANOL-NAOH DENGAN ELEKTRODA KARBON

B. LATAR BELAKANG MASALAH
Pemenuhan terhadap kebutuhan sumber energi khususnya bahan bakar saat ini masih menjadi persoalan serius bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dalam kenyataannya, kebutuhan terhadap sumber energi (bahan bakar skala rumah tangga)  terus mengalami peningkatan seiring pertambahan jumlah penduduk, sedangkan ketersediaan sumber energi bukannya bertambah malah berkurang mengingat sumber energi yang banyak digunakan oleh masyarakat adalah sumber energi berbasis fosil yang jelas-jelas tidak dapat diperbarui. Selain menyangkut ketersediaannya, persoalan serius yang muncul akibat penggunaan sumber energi fosil adalah adanya peningkatan pencemaran udara berupa gas karbondioksida (CO2) dan karbonmonoksida (CO) yang berdampak buruk bagi kesehatan dan turut memicu terjadinya pemanasan global dan secara berantai menjadikan terjadinya perubahan iklim secara ekstrim.
Dalam kenyataan sehari-hari, sumber energi yang paling banyak digunakan manusia adalah sumber energi berbasis fosil jenis bahan bakar minyak atau BBM yang termasuk dalam kelompok sumber energi tidak dapat diperbarui. Dengan istilah lain untuk menjadi sumber energi, fosil harus melalui proses evolusi ribuan bahkan jutaan tahun dan besar kemungkinan tidak dapat terulang lagi pada masa mendatang (Syah, 2005:2).
Selanjutnya Syah (2005) menyatakan bahwa cadangan sumber energi dari fosil setiap harinya semakin berkurang sedangkan kebutuhan terhadapnya tarus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk, oleh karena itu terjadilah kondisi yang disebut dengan krisis sumber energi.
Sementara itu telah ditemukan banyak energi terbarukan yang sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar skala rumah tangga. Salah satu bahan tersebut adalah etanol dari fermentasi bahan-bahan yang mengandung zat sakarosa. Minat untuk mendapatkan bahan bakar alternatif di Indonesia akhir-akhir ini juga meningkat, karena Indonesia adalah negara penghasil sekaligus pengimpor minyak bumi. Oleh karena itu, penelitian untuk mencari energi alternatif sangat penting untuk menopang kemandirian energi. Produksi etanol nasional ditargetkan 150 juta liter per tahun dengan bahan baku ubi kayu atau tebu. Untuk dapat memproduksi bioetanol sebanyak itu, dibutuhkan areal tebu minimal 600.000 ha. Upaya percepatan bisa dilakukan di antaranya di Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Percepatan produksi etanol sekaligus dapat menghemat devisa negara hingga Rp16 triliun per tahun dan menghasilkan pendapatan dari pajak hingga Rp7,50 triliun, serta membuka lebih banyak lapangan pekerjaan. Etanol di indonesia dihaslkan dari ketela pohon, tebu, salak, jagung, bongol pisang dan sebagainnya. Sehingga pembuatan bioetanol tidak lagi menjadi masalah dengan bahan pangan.
Menurut Nurdyastuti (2008), bioetanol yang digunakan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus benar-benar kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai grade sebesar 99,5 – 100% volume. Bioetanol memiliki banyak manfaat karena dicampurkan dengan bensin pada komposisi berapa pun memberikan dampak yang positif dalam mengurangi emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar minyak (bensin). Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin 90% sering disebut gasohol E-10 yang memiliki angka oktan 92 dibanding dengan premium hanya 87-88. Bioetanol dikenal sebagai octan enhancer (aditif) yang paling ramah lingkungan dibandingkan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE) (Anonim, 2008).
Bio-etanol dapat dimurnikan dengan dua cara yaitu kimia dan fisika (Pranowo, 2007). Cara kimia dengan menggunakan batu gamping, cocok diaplikasikan bagi produsen skala rumah tangga. Selain caranya sederhana biaya pun relatif murah. Harga satu kilo gamping Rp 35.000. Batu gamping sebelum digunakan ditumbuk halus agar penyerapan air lebih cepat. Perbandingan pemakaian adalah untuk 7 liter bio-etanol diperlukan 2 – 3 kg batu gamping. Campuran didiamkan selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Selanjutnya campuran diuapkan dan diembunkan menjadi cair kembali sebagai etanol 99% atau lebih. Bio-etanol inilah yang bisa dicampurkan dengan bensin atau digunakan murni. Kelemahan pemakaian batu gamping yaitu jumlah etanol yang hilang sangat tinggi. Pemurnian secara fisika menggunakan zeolit sintetis. Proses pemurnian ini menggunakan prinsip penyerapan permukaan. Zeolit sintetis berbeda dengan zeolit alam. Pada zeolit alam, air yang sudah terserap secara perlahan akan dilepas kembali sedangkan zeolit sintetis air akan terikat kuat. Untuk pemurnian bio-etanol sebaiknya digunakan zeolit sintetis 3A (ukuran 3 angstrom) dengan keunggulan mampu mengikat air lebih banyak. Keunggulan pemakaian zeolit sintetis : (1) waktu yang dibutuhkan lebih pendek, 12 jam dan (2) kehilangan etanol hanya 10%. Akan tetapi harganya lebih mahal dari batu gamping, Rp 100.000/kg dan belum diproduksi di Indonesia. Karena itu penggunaan zeolit sintetis lebih cocok untuk usaha skala besar. Baik menggunakan batu gamping atau pun menggunakan zeolit, ternyata terlalu banyak kehilangan etanol pada proses dehidrasi dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Dengan mempertimbangakan pemurnian bioetanol yang cukup mahal maka penulis ingin meneliti suatu metode yang secara ilmiah memungkinkan untuk memisahkan air dari etanol. Penelitian ini didasarkan pada materi kimia SMA, yaitu elektrolisis larutan elektrolit yang memungkinkan air terurai menjadi unsur-unsurnya. Dengan demikian maka terpecahkan cara memisahkan air dari bioetanol yang murah dan mengurangi kemungkinan kehilangan etanol pada proses dehidrasi. Dari uraian tersebut maka penulis berharap agar kadar bioetanol dapat meningkat sehingga dapat langsung digunakan pada kendaraan bermotor.